Portal Penyejuk Hati

Ma'had Aly Al-Ihsan

JaddungPragaan Sumenep Madura

Durhaka kepada Allah

Penulis; Habibullah Salman M.Ag.

إِنَّهُمْ كَانُوا لَا يَرْجُونَ حِسَابًا (27) وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا كِذَّابًا (28) وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ كِتَابًا (29) فَذُوقُوا فَلَنْ نَزِيدَكُمْ إِلَّا عَذَابًا (30) 

"Sesungguhnya dahulu mereka tidak pernah mengharapkan pembalasan (27) dan mereka benar-benar mendustakan ayat-ayat Kami (28) dan segala sesuatu telah kami  catat dalam  suatu kitab (29) maka karena itu  rasakanlah! Maka tidak ada yang akan  kami tambahkan kepadamu selain azab". Surat Al-Naba' ayat 27-30.

Kita tahu bahwa setiap Nabi akan memilki para penentang yang keras kepala dan keras hatinya. Kepala mereka keras karena tidak bisa diajak berdialog dengan arif. Kerasnya hati mereka tidak bisa luluh sekalipun disentuh ayat-ayat Allah. Perhatikan penentang Nabi Musa yang sebenarnya kaumnya sendiri.

Ketika mereka diselamatkan dari kekejaman Fir'un misalnya, sedikit saja digertak oleh Fir'un, mereka justru sangat ketakutan dan menyalahkan Musa. Ketika Musa menyuruh mereka bergerak menggempur Palestina sebagai tanah yang dijanjikan Allah, malah mereka berkata,"Kamu saja dengan Tuhanmu yang pergi, kami di sini akan duduk" (Q.S. Al-Maidah, 24).

Bahkan ketika Allah menghidupkan orang mati di depan mereka, untuk menunjukkan kekuasaanNYA, hati mereka tetap membatu yang kerasnya melebihi batu itu sendiri  (Q.S. Al-Baqarah, 74).

Di zaman nabi Muhammad, hal serupa terjadi. Penentangan Kaum kafir di zaman Nabi diungkapkan dalam dua hal:

Pertama, Mereka sama sekali tidak mengharapkan pembalasan kelak di hari kiamat. Mereka tidak berharap, menurut Ibnu Kastir, karena tidak percaya bahwa Allah bisa menghidupkan mereka kelak setelah mereka meninggal, yang sudah tinggal tulang belulang. Kehidupan setelah mati oleh mereka dianggap dongeng dan Nabi, yang membawa kabar ini, dianggap mengada-ada, bahkan dianggap orang gila.

Imam al-Razi berpendapat lebih jauh lagi. Pakar tafsir yang rasionalis ini menilai bahwa sebenarnya orang kafir percaya bahwa hari perhitungan itu ada, tapi mereka tidak takut. Dengan perasaan tidak takut, mereka bisa melakukan apa saja yang mereka kehendaki. Jika mereka takut terhadap hari perhitungan karena seluruh amal mereka akan diadili dan dibalas dengan setimpal, tentu mereka tidak akan berani melakukan kemungkaran.

Pendapat ini sesuai dengan takwil Imam Mujahid yang disitir Imam al-Tabari bahwa kaum kuffar sebenarnya membenarkan hari perhitungan, tapi mereka tidak peduli. Ketidak pedulian mereka tersebut - menurut Qurais Sihab berdasarkan sistematika kalimat kaanu yang mengandung makna maadhi dan kata la yarjuuna yang bermakna istiqbal - sudah ada sejak dulu, sudah menjadi kepribadian dan berlangsung hingga kini dan akan datang.

Sikap mereka yang penuh keingkaran ini disebabkan hal kedua: mereka benar-benar mendustakan ayat-ayat Kami. Pola pikir mereka yang mendustakan ayat Allah yang disampaikan Rasul merupakan akar pengingkaran mereka terhadap hari kebangkitan. Dengan kata lain, pengingkaran terhadap hari kebangkitan adalah dampak dari pola pikir mereka yang ingkar. Disini terjadi kausalitas antara pikiran dan prilaku. Begitu kurang lebih pendapat Imam al-Razi.

Nah, sekarang sudah jelas bahwa sejak semula hati orang kafir memang sudah di setting untuk mendustakan ayat-ayat Allah sehingga pikiran mereka juga merancang alasan membenarkan pendustaan hati mereka. Allah akhirnya menutup hati mereka. Jika hati kaum Nabi Musa digambarkan lebih keras ketimbang batu, hati kaum kafir Mekkah malah telah terkunci dan disegel, sehingga hati dan mata mereka juga ikut tertutup dari melihat kebenaran (Q.S. Al-Baqarah, 7). Begitu tertutupnya hati mereka, sehingga akal mereka juga lumpuh, tidak bisa berfikir secara normal. Akal mereka tidak percaya bahwa mereka kelak bisa dihidupkan lagi, padahal mereka diciptakan oleh Allah dari ketiadaan. Dengan menggunakan akal sehat sebenarnya mudah dipahami bahwa membangkitkan hal sudah ada adalah lebih mudah bagi Allah daripada menciptakan dari ketiadaan.

Akibat terkuncinya hati mereka, semua yang disampaikan Nabi mereka tolak, bukan karena tidak benar, tapi tidak sesuai dengan hati mereka. Mereka mendustakan Nabi bukan karena mereka tidak tahu atau tidak percaya bahwa apa yang disampaikan Nabi adalah sebuah kebenaran, mereka mendustakan justru ketika mereka percaya bahwa itu sebuah kebenaran.

Akhirnya mereka juga tidak peduli terhadap perhitungan Allah. Padahal Allah menghitung amal mereka dengan maha teliti untuk diminta pertanggung jawaban kelak. Untuk menunjukkan ketelitian Allah mencatat perbuatan mereka, kata Quraish Sihab, Allah menggunakan kata Ahsainahu, yang seakar dengan hasaa, yang bermakna kirikil. Di Arab, kerikil digunakan untuk menandai hitungan yang sudah  sempurna.

Mereka sudah tidak bisa diajak kompromi. Peringatan apapun yang mereka dengar tidak akan pernah menyentuh hati mereka yang sudah terkunci. Orang yang tidak acuh lebih keras hatinya dari pada orang yang tidak tahu. Terlebih orang yang acuh karena hanya ingin bisa memuaskan nafsunya. Dia akan menentang kebenaran dengan segala cara yang sekiranya bisa menolak kebenaran tersebut. Sikap mereka ini oleh Allah dinilai sudah melampui batas karena tidak mungkin dirubah.

Atas kedurhakaan mereka yang melampu batas ini, kelak Allah memberikan Balasan yang setimpal. Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa mereka akan disiksa di neraka selama 80 tahun. Setiap tahunnya ada 12 bulan.  Setiap bulan 30 hari dan 1 hari sama halnya dengan seribu tahun. Di neraka mereka tidak akan pernah merasakan kesejukan dan tidak pula mendapatkan minuman. Ketika mereka kehausan akibat panasnya api neraka, yang mereka minum adalah nanah  dan  darah.

Tentu saja ini adalah gambaran verbal dari siksaan sebenarnya yang jauh lebih pedih. Dahsyatnya kepedihan siksa ini oleh Allah digambarkan dalam firmanNYA," Rasakanlah, maka kami tidak akan menambahkan kecuali kepedihan". Menanggapi firman ini, Nabi bersabda,"Ayat ini merupakan ancaman yang paling keras terhadap penghuni neraka, ketika mereka meminta keringanan dari pedihnya siksa justru mereka diberi siksa yang lebih pedih". Wallahu a'lam.

Daftar Pustaka 

            M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Lentera Hati, Jakarta, 2009.

            Fakhruddin Muhammad bin 'Umar bin al-Husayn al-Razi, al-Tafsir al-Kabir (Mafatihul Gaib), Darul ihyai al-Turats al-'Arabi, Beirut, 1999.

            Muhammad Ibnu Jarir bin Yazid bin Katsir bin Galib al- Amali Abu Ja'far al-Tabari, Jamiul Bayan fi Ta'wil Quran,  Muassasah al-Risalah, 2000.

Abu al-Fida' Isma'il ibnu Katsir al-Qurasyi al-Damsyiqi, Tafsir al-Quran al-'Adzim, Toha Putera Semarang, tt.

Tulisan Populer
Tulisan Terbaru
Tulisan Terbaca